Selasa, 26 Februari 2013

Fenomena Ganja Aceh

Berbicara Ganja, pasti tak luput Aceh di dalamnya. Namun klaim itu tak bisa serta merta disambut negatif, karena memang benar adanya. Bahkan ada klaim bahwa tanah 1001 rencong ini juga dikenal sebagai produsen ganja terbesar di Asia Tenggara setelah Thailand. Hampir di setiap jengkal belantara Aceh dihiasi tanaman ganja. Tak pelak, Isu Aceh sebagai penghasil tanaman ajaib ini bahkan sudah mendunia. Sampai-sampai dalam sidang ke 49 Komisi Narkoba PBB (UN Commission on Narcotic Drugs) pada tanggal 13-17 Maret 2006 di Wina Austria, turut dibahas tentang fenomena ini. Konon lagi anggapan masyarakat internasional bahwa Aceh sudah memiliki trade mark sebagai ‘ladang ganja’ terbesar sekaligus penyuplai ganja berkualitas nomor wahid.

Menjamurnya tanaman ganja di Aceh sangat didukung oleh kondisi geografis, tanahnya juga subur, hujan teratur, dan posisi pegunungan dengan iklim yang relatif stabil, ditambah lagi keterisolasian akibat konflik sejak zaman Belanda, DI-TII sampai era GAM. Nah! Masyarakat yang berada di daerah terpencil terancam kelaparan dan kemiskinan akibat konfliknya. Warga berinisiatif menanam ganja untuk bertahan hidup.

Pertanyaannya, kenapa mesti ganja? Kan masih banyak komoditi lainya, seperti palawija dan berjuta jenis tumbuhan lainya. Jawabannya, bila tanaman lain tak ada yang backup alias menyokong atau alias-alias lainnya. Sebagai contoh, menanam pisang, harga pisang untuk transport saja tak cukup, bagaimana bisa menghidupi keluarga. Apalagi tak bisa dipasarkan dengan aman, karena Aceh lagi perang. Kalau bagi yang menanam ganja, itu ada proteksi atau perlindungan dari suatu kelompok tertentu yang lazim disebut OTK, hanya petani ganja dan Tuhannya saja yang tau siapa orang tak dikenal itu.

Kembali ke cimeng. Kalau polisi lagi sehat dan gemar berpatroli, dalam satu bulan saja dapat menemukan hingga ratusan hektar ganja di hampir seluruh wilayah Aceh. Dari sekian banyak wilayah yang tanami ganja, Bireuenlah yang disinyalir terdapat ladang ganja terluas setelah Aceh Besar yaitu, kira-kira ada 44 tempat yang tersebar di enam kawasan dalam lima Kecamatan. Satu kali operasi saja, polisi bisa menemukan 20 sampai 90 hektar ladang. Hitung saja jika satu hektar menghasilkan 100 kilogram ganja siap panen. Maka berapa jadi uang?

Mari kita hitung-hitungan, harga ganja di tingkat lokal saat ini berkisar Rp200 ribu per kilogram, maka sekali panen Si Pak Tani beserta rezim-rezimnya dapat peng Rp20 juta. Jika sampai di Sumatera Utara dan sekitarnya harganya bisa mencapai Rp700 ribu per kilogram. Belum lagi bila sampai ke Jakarta dan Jawa lainnya, harga ganja untuk partai besar mencapai Rp2 juta per kilogram atau Rp200 juta per hektar. Sementara kalau dijual eceran malah harganya melonjak hingga Rp3,5 juta per kilogram. Walau tak valid, katakanlah jumlah keseluruhan ladang ganja di Aceh ada 1000 hektar dengan asumsi setahun bisa tiga kali panen dengan harga Rp3,5 juta per kilogram. Maka setiap kali panen omset per tahun sangat menggiurkan, yaitu 100 ribu kg x 3,5 juta x 3 = Rp 1,05 triliun.



Dengan demikian hasil ganja Aceh hampir mengimbangi sepertiga dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) atau di Provinsi teman saya disebutnya APBD. Bayangkan, jika hasil tanaman ini diekspor, tentu menghasilkan keuntungan berlipat ganda, apalagi ganja Aceh telah mendapat predikat standar Internasional. Untung ganja tak legal, kalau legal, mungkin Aceh sudah dinobatkan sebagai negeri swasembada ganja. Gubernur Aceh, Irwandi Yusuf akan mendapat nobel layaknya Martti Ahtisaari, tokoh perdamaiaan Aceh yang terkenal itu, atau lebih tepatnya laksana Soeharto yang berhasil mengantar Indonesia sebagai Negara Swasembada Pangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar