GEMBEL, TAPI CINTA LINGKUNGAN
Jangan heran kalau melihat
tampilan sebuah Vespa kumal, dengan gantungan kaleng bekas oli, kaleng
minuman, botol plastik, potongan kain, spanduk kumal, jerami, sampai
celana dalam, sering kita temui melintas di jalanan. Kendaraan bermotor
seperti itu tentu membuat penilaian yang beragam di masyarakat.
Bagaimana tanggapan para pecinta sepeda motor jenis skuter vespa itu, atas tudingan yang dianggap miring tersebut? Yang jelas, mereka yang menjalaninya, cuek atau acuh tak acuh saja.
Suatu siang yang cerah, suara knalpot sember memecah suasana di jalan utama kota Semarang.
Hampir semua mata di sekitarnya mengalihkan pandangan ke arah sumber
suara. Sebuah kendaraan bermotor jenis Vespa penuh dengan ”hiasan”
sampah melintas pelan. Kecepatannya tak sebanding dengan suaranya yang
kencang memekakkan telinga. Kendaraan yang berjalan tak lebih dari 40
kilometer per jam itu hendak menuju Ungaran, Kabupaten Semarang.
Pengendaranya seorang lelaki muda berboncengan dengan cewek cantik. Di
tempat duduk paling belakang, terlihat gulungan karpet yang terlipat rapi.
Jika diamati lebih dekat, kendaraan bermotor tersebut ternyata sebuah Vespa rombeng tahun 1970-an yang sudah dimodifikasi sesuka mereka Vespa
dirombak sedemikian rupa, shingga bentuknya jadi aneh. Setang tinggi
menjulang yang biasa disebut setang monyet, karena pengendaranya
terlihat seperti monyet sedang menggelayut di batang pohon. Tetapi
pengendara dan yang diboncengkan enjoy saja.
Perombakan
Vespa seperti itu memang macam-macam. Ada yang menambahi gerobak atau
sespan di sampingnya. Ada pula yang menceperkan dan memanjangkan badan
vespa hingga bermeter-meter, ada yang 2 meter, ada pula yang sampai 8
meter. Edan tenan. Memang
ciri khusus Vespa Gembel adalah kotor dan penuh cantelan barang bekas
atau sampah. Maklum, penggemarnya sengaja tidak mencucinya
berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Tampilan vespa makin terlihat
kumuh karena penggemarnya kerap menempelkan aneka ”sampah” sebagai
aksesori. Mulai dari karung goni, drum bekas, galon air, sandal jepit,
CD, selongsong mortir, botol infus, tengkorak sapi, hingga celana dalam,
batu nisan dan lain-lain. Jika dibilang sebuah sepeda motor, sepertinya
sudah ”menyalahi kodrat”.
Namun,
tudingan masyarakat yang beragam seperti tidak menaati peraturan lalu
lintas, atau kotoran berjalan, dianggap angin lalu oleh mereka. Namun,
sikap mereka ternyata tak sekumuh penampilannya. Mereka tetap menaati
peraturan yang berlaku di jalan. Sopan bila diajak bicara, dan disetiap
tempat, pemberhentian, selalu menjaga kebersihan lingkungan.
Komunitas
Vespa Gembel, ada di berbagai kota di Indonesia. Khusus di Semarang,
ada Komunitas Vespa Orang Semarang (VOS). Kelompok ini bermarkas di
Bulusan, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Mereka tidak mau disebut
sebagai grup Vespa Gembel, tetapi menyebut diri sebagai kelompok
Kendaraan Vespa Ekstrem.
Pengurus
VOS Hari Setyawan (22) menjelaskan, komunitas yang berdiri tahun 2001
ini sudah ”kebal telinga” disebut sebagai komunitas preman, gembel atau
tidak patuh terhadap hukum. Terutama kepada delapan anggotanya yang
memakai vespa ekstrem. Sebutan itu justru membuat komunitas yang
memiliki 25 anggota ini makin eksis dan dikenal hingga ujung pulau
Sumatera dan Bali. ”Kami juga manusia biasa yang memiliki akal, pikiran
dan hati nurani. Jangan asal melihat dari penampilan saja. Surat-surat
kendaraan kami lengkap, kami warga yang taat terhadap hukum,” ujarnya.
Mengembara
dengan vespa kesayangan dari kota ke kota adalah wujud betapa vespa
menjadikan hidup mereka penuh warna. Dalam perjalanan itu juga,
solidaritas di antara sesama pengguna vespa nyentrik itu terwujud.
Saling melambaikan tangan atau hormat antarpengendara sebagai ciri khas
yang konon tak pernah dilakukan oleh pengendara motor lainnya. Bahkan,
saat pengendara vespa melihat ada pengendara vespa lainnya mogok di
pinggir jalan, meski belum saling mengenal, mereka akan berhenti dan
membantu agar bisa berjalan lagi.
”Ini
yang membedakan dan menjadi ciri yang tak ada duanya dengan pengguna
motor lainnya. Saya pernah kehabisan uang dan bensin di Ngawi, Jawa
Timur, saya ditolong oleh pengendara vespa yang awalnya tidak kenal dan
sekarang seperti keluarga saja,” ungkap Owol, panggilan akrab Hari
Setyawan .
Sedangkan
”sampah” yang menggantung di belakang dan depan vespa, menurutnya,
bukan sampah yang mengotori jalanan. Para penggemar vespa ekstrem ini
justru turut membantu pemerintah dalam menjaga kebersihan lingkungan.
Kaleng bekas dan botol minuman yang dibawa ini sebenarnya dikumpulkan
oleh merekadi jalanan. Setelah barang bekas terkumpul banyak, dijual ke
tukang rosok. Sementara barang yang tidak laku, dibiarkan menggantung. ”Uang hasil penjualan barang-barang itu untuk beli bensin dan makan saat melakukan touring,” tandasnya.
Mengembara dari kota ke kota lain dan menyambangi komunitas pecinta
motor buatan:Enrico Piaggio tahun 1884 ini, tak pernah membawa bekal
yang cukup. Maklum, penggemar vespa mayoritas adalah masyarakat dengan
ekonomi kelas bawah. Mengumpulkan barang bekas adalah solusi mereka agar
tetap bisa berjalan, selain berhenti di samping lampu merah untuk
mengamen.
Syarat
untuk menjadi anggota komunitas vespa ini sangat gampang, yakni
memiliki vespa yang harganya murah, dan mau ngumpul. Sedangkan untuk
iuran, komunitas ini tidak membatasi jumlahnya. Alasannya, menyesuaikan
kemampuan ekonomi anggota. Iuran itu biasanya digunakan untuk kegiatan
sosial, seperti membantu anggota komunitas yang sakit, anggota yang
menikah, istri anggota yang melahirkan atau anggota yang benar-benar
tidak mampu membeli beras. Tak ada aturan yang mengikat, karena
komunitas ini memang tidak memiliki anggaran dasar maupun anggaran rumah
tangga (AD/ART).
”Organisasi
yang bebas tapi menjunjung tinggi kekeluargaan, itu semangat yang tak
boleh hilang dari komunitas vespa. Kalau orang kaya bisa pamer
kemewahan, kita bisa pamer kegembelan atau keekstreman,”
tutur mereka berargumentasi. Memang harus diakui, tampilan vespa
ekstrem merupakan bentuk kebebasan yang ditunjukkan oleh pemakainya.
Meski anggotanya tidak dilarang menggunakan vespa jenis ini, dia menilai
vespa ekstrem sebagai bentuk pemakainya yang ingin mencari sensasi
tersendiri saat melintas di jalanan.
Jejaring
komunitas Vespa Gembel sangatlah kuat hingga ke kota-kota lain di luar
Pulau Jawa. Mereka saling mengunjungi, saling membantu dan saling
mendoakan. Ada aturan tidak tersurat ketika sebuah komunitas lain yang
mampir ke markas mereka, yakni kewajiban menjamu. Menyediakan makanan,
tempat menginap sederhana, kadang juga membantu uang bensin. ”Dengan
Vespa Gembel, kita satu keluarga”, itulah semboyan mereka. Masihkah kita
menutup mata dengan keberadaan mereka? Ataukah ini pertanda revolusi
melawan kemapanan sedang berlangsung? Ah, entahlah
Tidak ada komentar:
Posting Komentar