Selasa, 26 Februari 2013

GEMBEL, TAPI CINTA LINGKUNGAN

GEMBEL, TAPI CINTA LINGKUNGAN


Jangan heran kalau  melihat tampilan sebuah Vespa kumal, dengan gantungan kaleng bekas oli, kaleng minuman, botol plastik, potongan kain, spanduk kumal, jerami, sampai celana dalam, sering kita temui melintas di jalanan. Kendaraan bermotor seperti itu tentu membuat penilaian yang beragam di masyarakat. Bagaimana tanggapan para pecinta sepeda motor jenis skuter  vespa itu,  atas tudingan yang dianggap miring tersebut? Yang jelas, mereka yang menjalaninya, cuek atau acuh tak acuh saja.
Suatu siang yang cerah,  suara knalpot sember memecah suasana di jalan utama kota  Semarang. Hampir semua mata di sekitarnya mengalihkan pandangan ke arah sumber suara. Sebuah kendaraan bermotor jenis Vespa penuh dengan ”hiasan” sampah melintas pelan. Kecepatannya tak sebanding dengan suaranya yang kencang memekakkan telinga. Kendaraan yang berjalan tak lebih dari 40 kilometer per jam itu hendak menuju Ungaran, Kabupaten Semarang. Pengendaranya seorang lelaki muda berboncengan dengan cewek cantik. Di tempat duduk paling belakang, terlihat  gulungan karpet yang terlipat rapi.
Jika diamati lebih dekat, kendaraan bermotor tersebut ternyata sebuah  Vespa rombeng tahun 1970-an  yang sudah dimodifikasi sesuka mereka   Vespa dirombak sedemikian rupa, shingga bentuknya jadi aneh. Setang tinggi menjulang yang biasa disebut setang monyet, karena pengendaranya terlihat seperti monyet sedang menggelayut di batang pohon. Tetapi pengendara  dan yang diboncengkan enjoy saja.
Perombakan Vespa seperti itu memang macam-macam. Ada yang menambahi gerobak atau sespan di sampingnya. Ada pula yang menceperkan dan memanjangkan badan vespa hingga bermeter-meter, ada yang 2 meter, ada pula yang sampai 8 meter. Edan tenan. Memang ciri khusus Vespa Gembel adalah kotor dan penuh cantelan barang bekas atau sampah. Maklum, penggemarnya sengaja tidak mencucinya berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Tampilan vespa makin terlihat kumuh karena penggemarnya kerap menempelkan aneka ”sampah” sebagai aksesori. Mulai dari karung goni, drum bekas, galon air, sandal jepit, CD, selongsong mortir, botol infus, tengkorak sapi, hingga celana dalam, batu nisan dan lain-lain. Jika dibilang sebuah sepeda motor, sepertinya sudah ”menyalahi kodrat”.
Namun, tudingan masyarakat yang beragam seperti tidak menaati peraturan lalu lintas, atau kotoran berjalan, dianggap angin lalu oleh mereka. Namun, sikap mereka ternyata tak sekumuh penampilannya. Mereka tetap menaati peraturan yang berlaku di jalan. Sopan bila diajak bicara, dan disetiap tempat, pemberhentian, selalu menjaga kebersihan lingkungan.
Komunitas Vespa Gembel, ada di berbagai kota di Indonesia. Khusus di Semarang, ada Komunitas Vespa Orang Semarang (VOS). Kelompok ini bermarkas di Bulusan, Kecamatan Tembalang, Kota Semarang. Mereka tidak mau disebut sebagai grup Vespa Gembel, tetapi menyebut diri sebagai kelompok Kendaraan Vespa Ekstrem.
Pengurus VOS Hari Setyawan (22) menjelaskan, komunitas yang berdiri tahun 2001 ini sudah ”kebal telinga” disebut sebagai komunitas preman, gembel atau tidak patuh terhadap hukum. Terutama kepada delapan anggotanya yang memakai vespa ekstrem. Sebutan itu justru membuat komunitas yang memiliki 25 anggota ini makin eksis dan dikenal hingga ujung pulau Sumatera dan Bali. ”Kami juga manusia biasa yang memiliki akal, pikiran dan hati nurani. Jangan asal melihat dari penampilan saja. Surat-surat kendaraan kami lengkap, kami warga yang taat terhadap hukum,” ujarnya.
Mengembara dengan vespa kesayangan dari kota ke kota adalah wujud betapa vespa menjadikan hidup mereka penuh warna. Dalam perjalanan itu juga, solidaritas di antara sesama pengguna vespa nyentrik itu terwujud. Saling melambaikan tangan atau hormat antarpengendara sebagai ciri khas yang konon tak pernah dilakukan oleh pengendara motor lainnya. Bahkan, saat pengendara vespa melihat ada pengendara vespa lainnya mogok di pinggir jalan, meski belum saling mengenal, mereka akan berhenti dan membantu agar bisa berjalan lagi.
”Ini yang membedakan dan menjadi ciri yang tak ada duanya dengan pengguna motor lainnya. Saya pernah kehabisan uang dan bensin di Ngawi, Jawa Timur, saya ditolong oleh pengendara vespa yang awalnya tidak kenal dan sekarang seperti keluarga saja,” ungkap Owol, panggilan akrab Hari Setyawan .
Sedangkan ”sampah” yang menggantung di belakang dan depan vespa, menurutnya, bukan sampah yang mengotori jalanan. Para penggemar vespa ekstrem ini justru turut membantu pemerintah dalam menjaga kebersihan lingkungan. Kaleng bekas dan botol minuman yang dibawa ini sebenarnya dikumpulkan oleh merekadi jalanan. Setelah barang bekas terkumpul banyak, dijual ke tukang rosok. Sementara barang yang tidak laku, dibiarkan menggantung. ”Uang hasil penjualan barang-barang itu untuk beli bensin dan makan saat melakukan touring,” tandasnya.
Mengembara dari kota ke kota lain dan menyambangi komunitas pecinta motor buatan:Enrico Piaggio tahun 1884 ini,  tak pernah membawa bekal yang cukup. Maklum, penggemar vespa mayoritas adalah masyarakat dengan ekonomi kelas bawah. Mengumpulkan barang bekas adalah solusi mereka agar tetap bisa berjalan, selain berhenti di samping lampu merah untuk mengamen.
Syarat untuk menjadi anggota komunitas vespa ini sangat gampang, yakni memiliki vespa yang harganya murah, dan mau ngumpul. Sedangkan untuk iuran, komunitas ini tidak membatasi jumlahnya. Alasannya, menyesuaikan kemampuan ekonomi anggota. Iuran itu biasanya digunakan untuk kegiatan sosial, seperti membantu anggota komunitas yang sakit, anggota yang menikah, istri anggota yang melahirkan atau anggota yang benar-benar tidak mampu membeli beras. Tak ada aturan yang mengikat, karena komunitas ini memang tidak memiliki anggaran dasar maupun anggaran rumah tangga (AD/ART).
”Organisasi yang bebas tapi menjunjung tinggi kekeluargaan, itu semangat yang tak boleh hilang dari komunitas vespa. Kalau orang kaya bisa pamer kemewahan, kita bisa pamer kegembelan atau keekstreman,” tutur mereka berargumentasi. Memang harus diakui, tampilan vespa ekstrem merupakan bentuk kebebasan yang ditunjukkan oleh pemakainya. Meski anggotanya tidak dilarang menggunakan vespa jenis ini, dia menilai vespa ekstrem sebagai bentuk pemakainya yang ingin mencari sensasi tersendiri saat melintas di jalanan. 
Jejaring komunitas Vespa Gembel sangatlah kuat hingga ke kota-kota lain di luar Pulau Jawa. Mereka saling mengunjungi, saling membantu dan saling mendoakan. Ada aturan tidak tersurat ketika sebuah komunitas lain yang mampir ke markas mereka, yakni kewajiban menjamu. Menyediakan makanan, tempat menginap sederhana, kadang juga membantu uang bensin. ”Dengan Vespa Gembel, kita satu keluarga”, itulah semboyan mereka. Masihkah kita menutup mata dengan keberadaan mereka? Ataukah ini pertanda revolusi melawan kemapanan sedang berlangsung? Ah, entahlah

Tidak ada komentar:

Posting Komentar